Kamis, 23 Oktober 2014

Semula Anggap HIV/AIDS Musuh Menakutkan




Temaram Hilang, Ketika Cinta Tumbuh


Siapa yang tidak merasa terpukul ketika vonis dokter terdengar ditelinga bahwa saudara positif  mengidap HIV/AIDS, seketika kehidupan menjadi temaram, (remang-remang red) asa yang dulu ada perlahan hilang, harapan yang bergelora perlahan sirna didalam jiwa yang tersungkur oleh vonis penyakit mematikan. Hal itu lah yang dirasakan oleh salah seorang penderita HIV/AIDS saat pertama dirinya mengetahui mengidap penyakit mematikan itu.

Handi Salam, Sukabumi


Sepintas tidak ada berbeda yang terlihat dari sosok pria gemulai dalam menjalankan hidupnya sehari-hari, semua terlihat seperti  tidak memiliki masalah apapun. Sebut saja Jono (bukan nama sebenarnya), meski hidupnya penuh dengan rasa ketakutan terhadap penyakit menyerang dengan tiba-tiba, namun dirinya tetap ceria menjalankan hidup seperti biasanya dan bahkan lebih bersemangat.
  Berdasarkan penuturan Jono kepada Radar Sukabumi, kejadian mengerikan tersebut terjadi setelah pacar dirinya menyarankan untuk ikut test HIV/AIDS di klinik kesehatan, meski dirinya tidak menyangka akan terjangkit penyakit ini, namun atas dasar cinta ahirnya dirinya memberanikan diri. Benar saja test tersebut membuat dirinya terpukul dan bertanya-tanya kenapa harus dirinya mengidap penyakit mematikan itu.
  "Dosa apa yang sudah aku perbuat hingga aku harus mengalami hal seburuk ini, aku tak rela menerima penyakit HIV/AIDS yang mematikan, "ujar Joni kepada Radar Sukabumi beberapa waktu lalu.
  Saat itu dirinya juga rasa kemarahan dan ketakutan bercampur, bahkan berpikiran hidup dirinya tidak lama lagi. Derita ini juga membuat dirinya enggan bekerja dan tak mau bertemu dengan orang lain. Kejadian ini bak seperti terjatuh dari tangga dan tertimpa tangga pula, apalagi setelah hubungan dengan pacar dirinya mulai berantakan setelah dirinya diketahui mengidap HIV/AIDS.
  "Mulanya aku menyalahkan dia (pacarnya red) dan orang terdekat lainnya ikut aku salahkan, dan bahkan saudaraku yang tinggal di luar negripun ikut aku salahkan, "jelasnya.
  Setelah aku lelah menyalahkan orang ahirnya dirinya sadar bahwa kejadian ini merupakan kesalahan pribadi, saat itu pula rasa kesepian dan depresi mulai mencengkram dirinya. Saat itu juga dirinya enggan bersentuhan dengan orang lain, dengan alasan takut mencelakakan yang disentuh. Saat itu dirinya benar-benar merasa kotor dan nista serta tidak berharga lagi.
  "Keadaan itu diperparah lagi dengan sipat aku yang pemalu, yang menjadi kesulitan para dokter untuk mengenalku, untung saja dokternya sabar banget dalam menjelaskan tetang pengobatan "cetusnya.
   Sebenarnya masih kata Jono, dirinya merasa malas untuk pergi ke grup pendukukug untuk mengobati penyakit yang dideritanya itu. Dirinya juga mengaku saat itu dirinya enggan betemu dengan orang yang mengalami hal sama yakni penderita HIV/AIDS . Alasannya sih karena dirinya memiliki sipat malu dan tidak mau mendengar cerita sedih mereka, karena kalau mendengarkan cerita seperti itu dirinya suka berkaca-kaca.
  "Lama kelamaan aku ahirnya bisa menerima kenyataan ini, pasalnya aku sadar betul bahwa anggapan ini bisa menjadi juru penolong. Mulanya aku menganggap musuh pada virus yang telah bercokol dalam tubuhku, hingga suasana perang dalam hatiku muncul untuk bertekad membasmi virus ini, "terangnya.
  Seiring waktu dirinya mulai sadar bahwa virus ini bukan lah musuh yang bisa dimatikan, dengan keadaan itulah dirinya bisa terbiasa menerima penyakit. Rasa itu jelas membuat dirinya kembali mencitai dirinya sendiri dengan menata hidup baru yang indah tanpa banyang-banyang keraguan.
  "Kurubah cara pandangku untuk membunuh virus-virus itu dengan cara yang lebih bersahabat, dengan membayangkan seolah obat-obatan itulah yang membersihkan virus-virus,"terangnya.
  Berjalan dengan waktu yang dirinya jalani ternyata membuat dirinya memiliki banyak teman yang mengerti dan menerima keadaanku seperti ini. HIV/AIDS yang ada di tubuh dirinya telah mengajarkan banyak hal-hal yang bermanfaat. Dokter menerangkan bagaimana cara-cara meminum obat yang baik dan berprilaku hidup sehat, dirinya mulai menata hidup dengan menjaga diri sendiri serta menjaga hubungan seks yang aman.
  "Aku bahagia sekali karena cukup kuat untuk bertahan, bukan hanya terhadap HIV saja, namun kekuatan dalam menghadapi diskriminasi dan suasana  ketakutan yang ditimbulkan diri sendiri, "terangnya.
  Bahkan menurutnya, HIV/AIDS bukan musuh, namun ketidakperdulian, diskriminasi dan ketakutan itulah musuh utama. HIV/AIDS telah menimbulkan keinginan dirinya untuk mengurangi diskriminasi dengan cara menceritakan pengalaman hidup kepada orang lain.
  "Aku ingin memberikan sesuatu yang berguna bagi komunitas dengan meningkatkan pengertian akan HIV/AIDS serta perbedaan seksualitas. Dan sekarang aku jatuh saat ini cinta lagi lho, meski belum pasti sih dia bakal jadi pacarku, soalnya masih tahap awal, "tukasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar